Panglima TNI Meminta Maaf: Tindakan Luar Biasa Yang Patut Diapresiasi

Telegraf – Panglima TNI, Laksamana Yudo Margono, menciptakan momen luar biasa dalam suasana ketidakpercayaan publik terhadap pejabat negara saat ini. Ia meminta maaf atas pernyataannya yang menggunakan istilah “memiting” terkait pelaku unjuk rasa di Rempang.

Permintaan maaf ini disampaikan di hadapan awak media pada Doorstop Asex atau Asean Soliderity Exercise 01 Natuna tahun 2023 di Dermaga Batu Ampar Batam pada pagi hari ini.

Alasan di balik permintaan maaf tersebut tidak perlu diperdebatkan, namun, penting untuk diapresiasi karena jarang terjadi permintaan maaf seorang Panglima TNI, yang merupakan pemimpin tertinggi di jajaran TNI.

Hal ini mencerminkan kejujuran yang sangat luar biasa dari seorang pejabat tinggi negara. Kejadian seperti ini adalah hal yang sudah lama tidak terdengar dalam ranah kepemimpinan Indonesia, dan patut diapresiasi sebagai contoh baik bagi pejabat tinggi lain di negeri ini.

Permohonan maaf Panglima TNI hari ini menandai dua sejarah baru di Batam. Pertama, ini adalah kali pertama negara-negara Asean melakukan latihan bersama, dan kedua, pertama kalinya seorang pemimpin tertinggi di organisasi besar di era milenium meminta maaf atas kesalahannya.

Sikap tulus dan alami seperti ini mungkin terwujud karena terbangun dari individu-individu yang memiliki kedekatan dengan kearifan lokal.

Laksamana TNI Yudo Margono dikenal sebagai seorang budayawan, yang mempraktikkan seni tradisional seperti wayang kulit, wayang orang, dan gamelan.

Wayang adalah seni yang menonjolkan nilai-nilai kesatria dari para pelakunya, dan karakter seperti ini tercermin dalam kepemimpinan Laksamana Yudo Margono.

Tumbuh dari pengalaman hidup di kapal, di samping bahasa yang lugas dan spontan, karakter seperti ini memang tumbuh dari tatanan kehidupan yang mengakar pada budaya lokal.

Sebagai anggota TNI AL yang sering berada di kapal perang, khususnya mereka yang memulai kariernya di Surabaya, penggunaan bahasa yang lugas, spontan, dan cenderung menggunakan bahasa Suroboyoan adalah hal yang umum.

Bahasa ini kerap digunakan dalam rapat-rapat, bahkan di antara mereka yang bukan berasal dari Surabaya atau Jawa Timur.

Oleh karena itu, ketika Panglima TNI Yudo Margono menyatakan dirinya sebagai “wong deso” (orang desa) untuk menjelaskan bahwa “memiting” berarti rangkulan dan tidak menggunakan alat apa pun, serta meminta maaf dua kali, ini menunjukkan bahwa TNI tetap bersama rakyat.

TNI terlahir dari rakyat, berjuang bersama rakyat, dan untuk rakyat.

Harapannya, permintaan maaf Panglima TNI ini dapat diikuti oleh pejabat negara lainnya. Sebagai manusia biasa, kesalahan adalah hal yang tak terhindarkan. Oleh karena itu, budaya minta maaf dari para pejabat negara harus menjadi hal yang umum.

Semoga apa yang dimulai oleh Panglima TNI Yudo Margono menjadi pemicu kesadaran tumbuhnya budaya minta maaf kepada rakyat jika terjadi kesalahan selama menjabat.

Selamat kepada TNI, semoga tetap setia pada jati dirinya dan tidak menjadi alat politik, apalagi alat kekuasaan. Politik TNI adalah politik negara, di mana TNI mendarmabaktikan dirinya untuk negara, bukan untuk pemerintah atau kepentingan lainnya.

Pos terkait