TELEGRAF – Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengumumkan putusan mengenai gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Dalam sidang perkara nomor 114/PUU-XX/2022, majelis hakim MK menolak permohonan para pemohon dan memutuskan bahwa sistem pemilu proporsional terbuka akan tetap berlaku dalam Pemilu 2024.
“Dengan ini, kami menolak permohonan para pemohon secara keseluruhan,” ujar Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, saat membacakan putusan di gedung MK RI pada Kamis (15/6/2023).
Hakim Konstitusi, Saldi Isra, dalam persidangan tersebut menyatakan bahwa pemohon mengajukan dalil bahwa penggunaan sistem proporsional dengan daftar terbuka dalam pemilihan umum telah menyimpang dari peran partai politik.
“Dalil tersebut mengklaim bahwa sejak Pemilihan Umum 2009 hingga 2019, partai politik telah kehilangan peran sentralnya dalam kehidupan demokrasi,” ujar Saldi Isra.
Namun, menurut Mahkamah, dalil tersebut dianggap berlebihan jika dilihat dari ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang memposisikan partai politik sebagai peserta pemilihan umum anggota DPR/DPRD. Mahkamah juga menyebut bahwa partai politik masih memegang peran sentral dengan otoritas penuh dalam proses seleksi dan penentuan calon.
Saldi Isra menjelaskan bahwa partai politik memiliki kewenangan sentral dalam memilih calon yang dapat mewakili kepentingan, ideologi, rencana, dan program kerja partai politik yang bersangkutan. Ia juga menanggapi kekhawatiran terhadap kemungkinan adanya politik uang dalam sistem proporsional terbuka dengan menyatakan bahwa praktik tersebut dapat terjadi dalam berbagai sistem pemilihan.
“Praktik politik uang sangat mungkin terjadi di antara elit partai politik dan calon anggota legislatif yang berusaha dengan segala cara untuk mendapatkan nomor urut calon yang lebih tinggi agar peluang keterpilihannya semakin besar,” ungkap Saldi Isra.
Lebih lanjut, Saldi Isra menekankan bahwa praktik politik uang tidak bisa dijadikan alasan untuk menuduh sistem pemilihan umum tertentu. Ia menegaskan bahwa berbagai dalil yang diajukan oleh pemohon, termasuk distorsi peran partai politik, politik uang, tindak pidana korupsi, dan keterwakilan perempuan, tidak semata-mata disebabkan oleh sistem pemilihan umum yang dipilih.
“Setiap sistem pemilihan umum memiliki kekurangan yang dapat diperbaiki tanpa mengubah sistem itu sendiri,” kata Saldi Isra.
Sidang ini hanya dihadiri oleh delapan hakim konstitusi, sementara Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams sedang menjalankan tugas di luar negeri. Juru Bicara Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono, menyatakan bahwa MK telah menerima permohonan uji materi terhadap Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu yang terkait dengan sistem pemilu proporsional terbuka pada 14 November 2022.
Enam pemohon dalam perkara tersebut adalah Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono.
Sebanyak delapan dari sembilan fraksi partai politik di DPR RI juga menyatakan penolakan terhadap sistem pemilu proporsional tertutup, termasuk Fraksi Golkar, Gerindra, Demokrat, NasDem, PAN, PKB, PPP, dan PKS. Hanya satu fraksi, yaitu PDI Perjuangan, yang mendukung sistem pemilu proporsional tertutup.