Telegraf – Badan Narkotika Nasional (BNN) di Indonesia yang kini memiliki fasilitas setingkat menteri, seakan menjauh dan enggan melibatkan LSM serta media massa sebagai bagian dari program kerjanya. Kepala BNN yang terdahulu seperti Ahwil Lutan hingga Anang Iskandar dan Budi Waseso selalu melibatkan media hingga masyarakat merasakan kinerja BNN. Namun, kini, kesinambungan atau keberlanjutan program kegiatan yang telah dilakukan untuk menjaga integritas serta profesionalitas aparatur mulai dipertanyakan di masyarakat.
Ketum Ridma Foundation mengkritisi kinerja Badan Narkotika Nasional (BNN) saat ini. Ia menambahkan bahwa BNN di masa sekarang, menjauh dan sepertinya enggan melibatkan LSM serta media massa sebagai bagian dari program kerja. Berbeda saat BNN belum punya fasilitas setingkat menteri, Kepala BNN yang lalu seperti Ahwli Lutan hingga Anang Iskandar dan Budi Waseso, yang sedemikian rupa melibatkan media massa, hingga masyarakat merasa kinerja BNN terasa.
Dalam menjalankan tugas pemerintah di bidang pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan, dan peredaran gelap psikotropika, prekursor, dan bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol, BNN harus terus melakukan terobosan strategis untuk peningkatan dan pemerataan layanan publik BNN di seluruh wilayah. Kiprah BNN harus dirasakan masyarakat.
Pemerintah pada 4 Juli 2019, melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 47 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional (BNN), menyetarakan hak keuangan dan fasilitas BNN. Presiden Joko Widodo menandatangani Perpres ini untuk mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi BNN guna optimalisasi pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.
BACA JUGA: BNN Setingkat Menteri. Sudah Tahu Belum?
Kunci sukses melaksanakan tugas penanganan permasalahan narkoba sangat tergantung pada kemampuan masyarakat. Diharapkan bahwa organisasi semacam BNN, dapat mengintegrasikan atau mengkolaborasikan berbagai potensi cegah narkoba di masyarakat, sehingga BNN dapat memenuhi tugas pemerintahnya dengan lebih baik lagi. Budi Jojo, yang juga penggagas Desa Cegah Narkoba hingga menerbitkan koran dinding di desa, sebagai bagian edukasi bahaya narkoba, mengingatkan pentingnya semangat untuk menyelamatkan bangsa dari bahaya narkoba.
Perpres ini merubah beberapa ketentuan dalam Perpres Nomor 23 Tahun 2010, diantaranya Pasal 60 menjadi: Kepala BNN merupakan Jabatan Pimpinan Tinggi Utama (sebelumnya jabatan struktural eselon I.a, red); Sekretaris Utama, Deputi, dan Ispektur Utama merupakan jabatan struktural eselon I.a atau Jabatan Pimpinan Tinggi Madya (sebelumnya jabatan struktural eselon I.a, red).
Untuk Direktur, Inspektur, Kepala Pusat, Kepala Biro, dan Kepala BNNP merupakan jabatan struktural eselon II.a atau Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (sebelumnya jabatan struktural eselon II.a, red); Kepala Bagian, Kepala Subdirektorat, Kepala Bidang, dan Kepala BNNK/Kota merupakan jabatan struktural eslon III.a atau Jabatan Administrator (sebelumnya jabatan struktural eselon III.a, red).
Sedangkan Kepala Subbagian, Kepala Subseksi, dan Kepala Subbidang merupakan jabatan struktural eselon IV.a atau Jabatan Pengawas (sebelumnya jabatan struktural eselon IV.a, red).
Kepala BNN sebagaimana dimaksud diberikan hak keuangan dan fasilitas setingkat menteri, bunyi Pasal 62A Perpres ini. Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu pada 8 Juli 2019 oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly.
Dipertegas saja bahwa Kepala BNN pertanggungjawabannya (langsung) ke presiden. Status BNN ditingkatkan seperti BNPT yang langsung di bawah presiden. (BNN) menjadi setingkat kementerian.
Artinya, lembaga ini garis koordinasi lebih linear dengan kementerian-kementerian. Diperlukan karena sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan negara melawan kejahatan dan penyalahgunaan narkotika.
Keunggulan lain dari peningkatan BNN sejajar dengan kementerian adalah politik anggaran yang tentunya akan turut meningkat. Nah!!